Senin, 07 Maret 2011

Bukan Catatan Terakhir

Ini tentang momen, yang katanya merupakan episode terakhir.

Pagi itu, angkot 04 menempuh perjalanan panjang dengan memakan waktu kurang lebih 1 jam. Melewati petak-petak sawah yang membentang di antara jalanan aspal. Melintasi sejumlah pemukiman dan pepohonan mahoni yang berlarian ke belakang.
Iseng, kueja ‘P-O-L-S-E-K-C-I-B-E-B-E-R’ pada plang besar di depan sebuah kantor. Pada akhirnya, plang itulah yang menjadi notification : KAMI SAMPAI DI CIBEBER.

“Teu nyangka, Cibeber sajauh kieu!” Agung bersungut-sungut setelah sampai di rumah Kani.
Rumah yang bermandikan sinar matahari ini rupanya cukup untuk menampung kami, sesaat beristirahat dalam kehangatan. Peluh-peluh juga sudah berlelehan di leher. Kue yang disajikan di atas meja ulung menjadi rebutan. Ieu mah pasti! Sementara, Reka menyesap cangkir berisi cairan merah muda wangi rosella-nya. Segar. Reka sampai menghabiskannya sekali teguk. Yang lain kemudian mengambil wudhu dan melaksanakan shalat dzuhur.
Wuhu... Liwet asak.

Asterivius arak-arakan menuju saung besar yang terletak di tengah kolam ikan. Kami mendapati empat helai daun pisang sudah tergelar. Hanya perlu menuangkan nasi liwet, sambal yang luar biasa sedap, ikan-ikan kepala buntung, lalap-lalapan, tempe, tahu, dan kerupuk bolong-bolong. Lengkap!
“Yak, di ulang tahun Ibu Ai Siti Komariah ini mari kita sama-sama berdoa semoga Ibu Ai diberi keberkahan, amin,” kata Andi sungguh-sungguh sebelum menangkupkan telapak tangan dimukanya. “Selamat makaaaan!!!!”

Punyaku! Ini semua punyaku!

(freza) : Sakalian Yar, cucukna!

Setengah jam liwet pun habis kukantongi ke perut. Aku kekenyangan. Yang lain juga. Mereka bahkan sempat foto-foto saat menggigit tulang ikan. Aku meringis, takut kalau-kalau tulang ikan yang bercabang-cabang itu malah nyangkut di tenggorokan. Mana bisa makan ikan sambil pegang camdy?
Hh, Asterivius.

Kau lihat di situ! Fakhri dan Dinar yang cuek mengikat kepala dengan seutas tali entah apa. Si kembar Faturrahman yang tertawa lepas. Dede Reka yang nyempil-nyempil ketika disuguhi petis. Uji yang mimiknya kaku beku.. di sini terlihat cerah penuh kedamaian. Atau lihatlah si tengil Agung yang sekarang ini bersikeras akan jadi peneliti alam dengan menjelajah petak kolam.

Sungguh, kami tak ingin melewatkan momen ini. Apalagi setelah pimpinan kami—Andi Naufal—memberikan kado secara simbolis kepada Ibu Ai. Tak sungkan-sungkan diberikan pula sebuah puisi atas nama kami. Ibu melantunkan puisi itu dengan penuh pengindraan, mengungkapkan rasa terimakasih dengan teramat tulus disertai wejangan-wejangan yang membuat dada terasa sesak. Sedih sekali. Tangis pecah, mengingat dimensi jarum jam punya rotasi, mengingat kita sebentar lagi berpisah menjadi selasar-selasar yang patah. Tapi kami bertekad untuk selalu menyatukan selasar-selasar itu suatu saat nanti. Ketika kami bukan lagi ‘satu’.

Di hari menjelang sore, kami berancang-ancang untuk segera pulang. Dan sebelum bergegas, kuberikan sepucuk surat untuk Ibu Ai yang malam sebelumnya telah kutulis, yeah, sampai mojok di kolong ranjang. Entah tanggapan Ibu bagaimana tatkala ia membaca suratku.

Berikut kukutip sebagian isinya..
A=ntara sayup-sayup detak jam dinding, derik papan tulis, dan bulir tinta
I=nterval tak monoton suaramu memproklamirkan nuansa kelabu menjadi biru, sementara..
S=uaraku tercekat, berada pada pucuk horison, kelu
I=ni sungguh bukan permainan tuth, dawai biola ataupun hingar pentas seni, melainkan satu : suaramu
T=atapan dengan refleksi kilatan-kilatan yang bersimbah di mata bening itu menyorotku!
I=ngin ku melayang, mengenaskan, serupa bangkai ikan yang terpuruk di kolam hijau
K=entara jelas wajahmu sarat akan rona bahagia, malu-malu
O=rang-orang berputih abu impuls menyulap diri menjadi kursi duduk
M=ereka temukan hangat saat kau riuh rendah merengkuh motif tartannya. The warmth nestling in, benarkah?
A=n endless truth : The beauty of what’s in you ;)
R=ebahkan tubuhmu dengan gestur halus di atasnya, rebahkan saja! Maka—
I=ring-iringan tart berlapis cokelat bersama sebatang lilin merah muda menyala
A=kan menjadi lentera panjang nan mulia engkau, wahai Ibu! Ya, mulai detik ini, mulai detik ini, Bu.. ketika diamku perlahan berubah pekik
H=APPY BIRTHDAY, My Precious Mom......!!

0 komentar: